Salam, Perlawanan Sunyi terhadap Ego

Pernahkah Kita Benar-benar Memikirkan Salam?
Setiap hari, lidah kita mungkin mengucapkannya berkali-kali. “Assalamu’alaikum.” Pendek, sederhana, akrab. Tapi pernahkah kita berhenti sejenak untuk meresapi maknanya? Apakah salam ini sekadar ritual sosial atau ada sesuatu yang lebih dalam? Di balik satu kalimat singkat itu, terkandung doa, pernyataan niat, dan bahkan latihan melawan salah satu musuh terbesar manusia: Keegoan.
Salam sebagai Doa dan Janji
Ucapan salam bukan sekadar sapaan. Saat kita mengatakan “Assalamu’alaikum,” kita sebenarnya sedang mendoakan orang lain: “Semoga keselamatan dan rahmat Allah tercurah kepadamu.” Lebih dari itu, salam adalah pernyataan damai. Dengan salam, kita berkata tanpa kata-kata: “Aku hadir bukan untuk melukai.” Inilah bedanya salam dengan sekadar sapaan biasa. Salam membawa bobot spiritual, mengikat hubungan antar-manusia dengan kesadaran akan Allah sebagai saksi.
Hadits: Salam Sebagai Jalan Cinta dan Persaudaraan
“Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman, dan kalian tidak akan beriman sampai kalian saling mencintai. Maukah aku tunjukkan sesuatu yang jika kalian lakukan, kalian akan saling mencintai? Sebarkanlah salam di antara kalian.” (HR. Muslim)Kata “sebarkanlah” di sini penting. Salam bukan untuk ditunggu. Ia harus diinisiasi. Dalam fiqih, bahkan ada adab yang jelas: Yang naik kendaraan memberi salam pada yang berjalan. Yang berjalan memberi salam pada yang duduk. Yang muda memberi salam pada yang tua. Yang jumlahnya sedikit memberi salam pada yang banyak. Tentunya, karena salam adalah Ibadah yang sunnah, maka akan dapat menghapus dosa-dosa juga.
Salam bukan sekadar formalitas. Ia adalah seni meruntuhkan ego dan membangun keakraban sosial.
Salam, Ego, dan Gengsi Manusia Modern
Ironisnya, banyak dari kita enggan memulai salam karena gengsi. Kita takut terlihat “lebih rendah,” padahal Rasulullah menegaskan:
“Orang yang paling mulia di sisi Allah adalah yang memulai salam lebih dahulu.”(HR. Abu Dawud)
Mengucapkan salam duluan adalah latihan kecil melawan ego. Ini pernyataan: “Aku memilih hubungan, bukan status.” Tapi di era sekarang, di mana citra sering lebih penting daripada makna, salam kadang kehilangan nyawanya.
Salam Sebagai Kontrak Sosial Umat
Bayangkan ini: di manapun kamu berada, dari Jakarta sampai Istanbul, dari Mekkah sampai New York, kalimat salam selalu sama. Tak peduli bahasa, budaya, atau status sosial, salam adalah “kode pengenal” global bagi umat Islam. Lebih jauh lagi, salam menciptakan rasa aman kolektif. Saat seseorang memberi salam, ada pesan tak terucap: “Aku datang dengan damai.” Pada level sosial, ini membangun kepercayaan dan merawat ikatan kemanusiaan.
Menghidupkan Kembali Makna Salam
Salam bukan sekadar kebiasaan, ia adalah pengingat. Pengingat bahwa kita tak hidup sendirian, pengingat bahwa doa sekecil apa pun bisa menjembatani jarak antar-manusia. Dalam dunia yang semakin bising dan individualistis, salam adalah perlawanan sunyi terhadap keterasingan. Jadi, lain kali kamu berpapasan dengan saudara seiman, jangan tunggu. Ambil langkah lebih dulu. Katakan lirih tapi penuh makna: “Assalamu’alaikum.” Karena bisa jadi, satu salam kecil itu yang menjaga keutuhan ukhuwah dan menghidupkan kembali doa yang hampir kita lupakan.
Satu Salam, Seribu Makna
Kalau salam sudah kehilangan ruhnya, kita kehilangan lebih dari sekadar kata-kata; kita kehilangan energi sosial yang mempersatukan kita sebagai umat. Salam adalah doa, salam adalah latihan jiwa, dan salam adalah tanda peradaban yang sehat.
Pertanyaannya: apakah kita cukup berani untuk memulai salam duluan?
Posting Komentar