Semakin Tulus, Semakin Diuji: Memahami “Law of Purity Resistance”

Ada satu hukum kehidupan yang jarang dibicarakan, tapi diam-diam kita semua pernah merasakannya. Semakin tulus niat kita, semakin besar pula tantangan yang datang. Fenomena inilah yang sering disebut sebagai “Law of Purity Resistance.”
Bayangkan, ketika kita benar-benar berniat baik, justru ada saja orang yang meragukan. Saat kita berusaha jujur, tidak jarang malah dituduh punya maksud tersembunyi. Bahkan ketika kita menolong tanpa pamrih, ada kemungkinan niat itu dianggap pencitraan. Rasanya tidak adil, tapi begitulah kenyataannya. Ketulusan sering kali justru mengundang ujian.
Kenapa bisa begitu? Karena tulus itu abstrak. Ia bukan sesuatu yang bisa dilihat atau diukur dengan angka. Orang lain lebih mudah menaruh curiga ketimbang percaya. Akibatnya, niat murni seringkali harus melewati serangkaian kerikil tajam berupa prasangka, keraguan, hingga cibiran.
Tapi justru di situlah letak “hukumnya.” Ketulusan sejati selalu diuji. Semakin murni niat kita, semakin kuat pula resistensi yang harus dihadapi. Itu seperti api yang membakar logam, semakin panas, semakin murni pula hasilnya.
Pastinya, ujian ini bukan untuk menjatuhkan kita. Ia hadir untuk menyeleksi, apakah niat yang kita punya benar-benar tulus atau hanya topeng sesaat. Tanpa resistensi, ketulusan tak akan punya makna.
Jadi, bila suatu saat kamu merasa sudah melakukan yang terbaik tapi justru dihadapkan pada keraguan, kritik, atau bahkan pengkhianatan, ingatlah hukum ini. Itu bukan pertanda salah jalan. Sebaliknya, itu adalah isyarat bahwa ketulusanmu sedang diuji, dan setiap ujian adalah kesempatan untuk tumbuh.
Pada akhirnya, “Law of Purity Resistance” mengajarkan kita satu hal sederhana namun dalam, ketulusan bukan jalan pintas menuju pengakuan, melainkan proses panjang menuju keteguhan hati.
Posting Komentar