Saat Realita Mengetuk Pintu: Memahami Fase Kenyataan dalam Pernikahan

Kita semua tahu, bahwa Pernikahan sering kali dipandang sebagai puncak kisah cinta dan perjalanan panjang yang akhirnya berlabuh dalam ikatan halal. Di awal, semua terasa hangat, penuh gairah, dan penuh kejutan manis. Tetapi, sebagaimana api unggun yang semula menyala terang lalu ia akan perlahan meredup, demikian pula dengan fase awal rumah tangga. Setelah beberapa tahun, realita mulai mengetuk pintu. Dan semuanya mulai berubah.
Kebiasaan kecil yang dulu dianggap lucu, bisa berubah menjadi pemicu kesal kepada pasangan. Perbedaan cara pandang, ritme hidup, bahkan tekanan ekonomi membuat pasangan tersadar jika hidup bersama ternyata tidak semanis bayangan awal. Inilah fase kenyataan dalam pernikahan, atau yang sering disebut disillusionment atau kekecewaan.
Mengapa Fase Kenyataan Terjadi?
Banyak pasangan bertanya, “Mengapa dia berubah?” Padahal, sesungguhnya bukan pasangan yang berubah, tetapi pandangan kita yang mulai melihat secara utuh siapa dia (pasangan) sebenarnya.
Fase kenyataan biasanya ditandai dengan:
- Munculnya perbedaan visi dan gaya hidup.
- Kebiasaan buruk pasangan yang semakin tampak.
- Konflik kecil yang berulang dan sulit diabaikan.
- Perasaan kecewa atau bahkan membandingkan pasangan dengan orang lain.
Menurut beberapa penelitian psikologi keluarga, fase ini biasanya muncul setelah 2–5 tahun usia pernikahan. Namun, dalam bentuk yang berbeda, fase kenyataan bisa kembali muncul di tahun-tahun berikutnya.
Risiko yang Mengintai dalam Fase Kenyataan
Fase disillusionment ini adalah titik paling kritis dalam perjalanan pernikahan. Ketika pasangan gagal mengelola perbedaan, maka akan ada risiko yang muncul cukup besar, diantaranya:
- Pertengkaran berkepanjangan.
- Hilangnya rasa percaya dan rasa hormat.
- Kekecewaan yang menumpuk menjadi dendam.
- Bahkan perceraian dini, terutama pada pasangan yang menikah dengan ekspektasi yang terlalu tinggi.
Dalam fase ini, cinta benar-benar diuji. Ia tidak lagi sekadar soal perasaan hangat, tetapi soal komitmen.
Rasulullah ﷺ bersabda:خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِى
Artinya: “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya dan aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku.”(HR. Tirmidzi)
Hadits ini menegaskan, ukuran kebaikan seseorang bukan hanya terlihat di luar, tetapi terutama dalam bagaimana ia memperlakukan pasangan hidupnya. Hadits ini juga menjadi pengingat bahwa ukuran baik dalam pernikahan bukan hanya di awal ketika semuanya indah, melainkan justru ketika kita mampu bersabar, saling menghormati, dan menjaga keluarga di tengah badai.
Dari Cinta yang Membara ke Komitmen yang Dewasa
Fase kenyataan sering membuat pasangan merasa cinta mereka meredup. Tetapi, jika mau jujur, justru di titik inilah cinta mulai bertransformasi. Dari sekadar emosi yang membara, ia berubah menjadi komitmen yang lebih dewasa. Banyak pasangan akhirnya bertahan bukan lagi karena “rasa manis” semata, melainkan karena tanggung jawab, anak-anak, keluarga besar, dan tentu saja janji suci pernikahan itu sendiri. Dan dari sinilah lahir fase solidaritas, sebuah tahap di mana pasangan belajar menjaga rumah tangga tetap berdiri, meski kadang terasa kering.
Mengelola Fase Kenyataan dengan Bijak
Alih-alih menganggap fase ini sebagai bencana, ada baiknya melihatnya sebagai proses pendewasaan hubungan. Beberapa langkah yang bisa membantu adalah:
- Komunikasi terbuka, Pasangan di tuntut lebih berani membicarakan perasaan, bukan menyimpannya hingga meledak.
- Menghargai perbedaan, Mungkin sulit. Tetapi menerima bahwa pasangan tidak harus selalu sama dengan kita adalah hal yang sangat perlu dilakukan.
- Fokus pada kebaikan, seharusnya dan semestinya setiap kita harus mengingat kembali alasan mengapa pernikahan itu dipilih.
- Menjaga spiritualitas, Menjadikan ibadah bersama sebagai penopang hubungan merupakan hal yang tepat.
Keluarga yang sakinah, tidak berarti tanpa masalah, melainkan tetap ada kasih dan sayang meski badai melanda. Rasulullah bersabda:
عن عائشة قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إذا أراد الله بأهل بيت خيراً أدخل عليهم الرفق في كل شيء
Artinya: “Jika Allah menginginkan terhadap rumah tangga itu kebaikan, maka Allah akan masukkan sifat kelembutan dalam segala sesuatu.”(Al-Munawi. Faidhul Qadir, [Lebanon, Darul Ma’rifah: 1972], jilid I, halaman 263). islam.nu.or.id- Kamis, 21 Ags 2025
Pernikahan bukan dongeng dengan akhir bahagia yang selalu sempurna. Ia adalah perjalanan nyata, dengan jalan yang berliku dan tantangan yang kadang melelahkan. Namun, justru dalam menghadapi realita itulah makna sejati dari cinta diuji. Jika fase kenyataan bisa dilewati dengan sabar, maka pernikahan akan semakin kokoh. Bukan lagi karena euforia sesaat, melainkan karena solidaritas dan komitmen yang matang. Pernikahan sejatinya adalah perjalanan panjang yang membutuhkan lebih dari sekadar rasa manis di awal dan Fase kenyataan hadir bukan untuk menghancurkan, melainkan untuk mendewasakan.
Posting Komentar