Fase Gairah dalam Pernikahan: Indah, Menggebu, tapi Tak Abadi

Table of Contents
Bulan Madu
Ilustrasi honeymoon.

Bagi yang telah menikah, tentu merasakan hari-hari awal pernikahan yang terasa begitu manis, hangat, dan nyaris tanpa cela? Setiap momen seperti potongan kisah romantis, tawa mudah muncul, dan pasangan tampak begitu sempurna. Seolah-olah dunia hanya milik berdua.

Inilah yang disebut banyak orang sebagai fase honeymoon atau fase gairah, masa ketika cinta menyala terang dan janji seakan tak terbatas. Semua terasa begitu indah, seakan tidak ada yang mampu memisahkan. Nikmati saja fase ini, Namun, benarkah pernikahan hanya akan diisi dengan fase manis seperti ini?

Awal Pernikahan, Api yang Membara

Hari-hari pertama pernikahan adalah waktu yang penuh gairah. Bahkan jauh-jauh hari sebelumnya, semenjak undangan pernikahan dibagikan dan pesta pernikahan diadakan. Romantisme mendominasi, keintiman fisik maupun emosional begitu kuat, dan setiap kelemahan pasangan seolah tidak tampak. Pada tahap ini, banyak pasangan yakin bahwa mereka telah menemukan pasangan yang benar-benar sempurna. Secara psikologis, fase ini ditopang oleh hormon kebahagiaan seperti dopamin dan oksitosin yang membuat otak dipenuhi rasa bahagia, keterikatan, dan euforia. Inilah sebabnya pasangan di awal pernikahan cenderung menutup mata terhadap kekurangan masing-masing. Namun, api yang membara di awal tidak akan bertahan selamanya. Seperti api unggun yang menyala terang saat baru dinyalakan, ia perlahan mereda jika tidak dijaga dengan bahan bakar yang tepat.

Fase gairah biasanya berlangsung antara 1–3 tahun pertama pernikahan. Beruntung bagi pasangan yang bisa terus menyalakan api cintanya. Selama periode ini, pasangan sering beranggapan bahwa mereka diciptakan sempurna untuk satu sama lain. Pernikahan dipenuhi keintiman, rasa memiliki, dan optimisme tinggi.

Tapi di balik keindahan itu, ada sisi rapuh yang tidak boleh diabaikan. Mengapa? Karena fase ini penuh dengan ilusi. Pasangan lebih banyak fokus pada sisi positif, sementara kekurangan cenderung ditutupi. Ilusi kebahagiaan inilah yang kerap runtuh saat perbedaan-perbedaan kecil mulai terasa nyata: kebiasaan sehari-hari, pola komunikasi, hingga cara mengatur keuangan.

Jika pasangan tidak siap, runtuhnya ilusi ini bisa memicu kekecewaan besar. Dari sinilah banyak konflik pernikahan mulai muncul, bahkan tidak jarang mengarah pada perceraian dini.

Islam menempatkan pernikahan bukan sekadar sebagai pelepas dahaga cinta, tetapi sebagai ibadah panjang yang harus dijaga dengan kesungguhan.

Al-Qur’an menegaskan:

وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةًۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ
Artinya: "Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah bahwa Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari (jenis) dirimu sendiri agar kamu merasa tenteram kepadanya. Dia menjadikan di antaramu rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.(QS. Ar-Rūm: 21)

Ayat ini menekankan dua hal penting: sakinah (ketenangan) dan rahmah (kasih sayang). Awal pernikahan yang penuh gairah memang nikmat, tetapi tidak cukup untuk menopang rumah tangga yang panjang. Ia perlu dipelihara dengan ketenangan, pemahaman, dan kasih sayang yang berkesinambungan.

Risiko Fase Gairah

Mengagungkan fase awal pernikahan tanpa memahami realitas bisa menimbulkan jebakan. Beberapa risiko yang sering terjadi adalah:

  • Mengabaikan kekurangan pasangan. Awalnya tampak sepele, namun lama-kelamaan bisa menjadi sumber konflik.
  • Ilusi kebahagiaan abadi. Keyakinan bahwa “pasangan saya sempurna” membuat banyak orang terkejut saat menghadapi kenyataan.
  • Kekecewaan saat realitas muncul. Perbedaan kebiasaan, karakter, hingga cara berpikir yang tidak pernah terlihat sebelumnya tiba-tiba terasa jelas.

Karena itu, memahami bahwa fase ini sementara adalah kunci penting. Jangan hanya terlena dalam indahnya romantisme, tetapi persiapkan diri menghadapi perjalanan panjang setelahnya.

Jika awal pernikahan adalah masa yang indah. Semua terasa hangat, penuh tawa, dan dunia seolah berpihak pada dua insan yang baru disatukan. Selanjutnya, seiring waktu, kebiasaan kecil mulai mengganggu, perbedaan cara hidup muncul, dan kenyataan tak bisa lagi ditutupi.

Inilah momen ketika pernikahan memasuki fase realita. Sebagian pasangan akan goyah, sebagian lainnya justru menemukan pijakan baru untuk meneguhkan cinta. Yang perlu diingat adalah, fase gairah bukanlah akhir dari cerita, melainkan gerbang masuk menuju perjalanan yang lebih dewasa. Pernikahan sejati tidak hanya soal menyalakan api cinta di awal, tetapi juga menjaga bara itu tetap hidup dalam bentuk yang lebih matang.

Refleksi untuk Pasangan

Pernikahan yang sehat tidak berhenti pada euforia. Ia membutuhkan:

  • Kesadaran bahwa fase gairah tidak abadi.
  • Kesiapan menghadapi realitas.
  • Komitmen menjaga cinta di luar romantisme semata.

Dengan kesadaran ini, pasangan bisa lebih siap menjalani perjalanan panjang rumah tangga. Cinta tidak lagi sekadar ledakan emosi, tetapi bertumbuh menjadi kehangatan yang menenangkan. Islam mengajarkan bahwa sakinah, mawaddah, dan rahmah adalah pondasi yang membuat rumah tangga tetap kokoh, bahkan setelah euforia mereda.

Razi
Razi Assalamu’alaikum. Saya Razi pengelola Blog Razinotes.com Terima kasih sudah singgah di blog sederhana ini, semoga ada manfaat meski hanya sedikit catatan yang tertulis. Jika ada salah, mohon dimaafkan. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Posting Komentar